Kamis, Februari 12, 2015

Teknik Manipulasi Kesuburan Wanita

Teknologi kedokteran abad ini cukup canggih. Salah satunya adalah teknik manipulasi kesuburan wanita di usia yang seharusnya sudah tidak produktif lagi untuk bereproduksi, menjadi tetap bisa hamil. Rekayasa dalam ilmu kedokteran reproduksi, memang ibaratnya mampu memutar mundur jam biologis pada sejumlah wanita. Teknik ini lebih dikenal sebagai teknik bayi tabung (bukan bayi dalam tabung lho ya ^^). Sebuah terobosan yang pada awalnya merupakan harapan terakhir, bagi para wanita yang kesulitan memperoleh anak. Terobosan dalam rekayasa pembuahan di luar rahim ini, dimulai di Inggris tahun 1978 lalu yang ditandai dengan lahirnya bayi tabung pertama, Louise Brown.

Louise Brown
Bahkan pada awal tahun 2007, mencuat sebuah berita sensasional, seorang ibu berumur 67 tahun dari Spanyol melahirkan bayi kembar. Dengan begitu, ia menjadi wanita tertua di dunia yang masih dapat melahirkan anak mengalahkan rekor sebelumnya yang dipegang seorang perempuan asal Rumania, yakni Adriana Iliescu yang juga melahirkan bayi kembar pada umur 66 tahun.

Sehingga sekarang ini, semakin banyak kaum hawa yang ibaratnya bermain judi dengan taruhan tinggi, berkaitan dengan teknik bayi tabung ini. Banyak yang beranggapan, dengan teknik kedokteran reproduksi paling canggih itu, mereka dapat hamil kapan saja dan pada usia berapa saja.

Namun, banyak kaum hawa yang salah memahami hal ini.
Ternyata teknik pembuahan buatan itu juga ada batasannya.

Alamiahnya, wanita yang hamil di atas 45 tahun, baik ibu maupun janin memiliki resiko tinggi terkena diabetes dan tekanan darah tinggi selama kehamilan tiga kali lebih besar daripada wanita muda. Perempuan yang lebih tua juga memiliki tingkat lebih tinggi melahirkan premature dan plasenta previa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Maximilian Franz dari Universitas Kedokteran Wina, bahwa resiko kehamilan yang lebih tinggi ini disebabkan karena adanya peningkatan usia yang dapat menyebabkan kurang sehatnya seorang individu.

Lantas, apakah dengan teknik bayi tabung bisa menjawab masalah itu?

Sebagaimana yang diungkapkan Dr. Paul Devroey, seorang pakar kedokteran reproduksi paling terkemuka di Eropa yang bekerja lebih dari 30 tahun di rumah sakit universitas Vrije Universiteit Brussel, di mana ia memimpin The Center for Reproductive Medicine.

Devroey menjelaskan,

Senin, Februari 09, 2015

Kesalahan Pendidikan dan Pola Berpikir Masyarakat Asia

Why Asians are Less Creative than Westerners
Sebuah buku yang berjudul, Why Asians are Less Creative than Westerners , yang ditulis oleh Ng Aik-Kwang, merupakan buku yang unik dan dapat dipercayai keakuratannya. Buku ini berpendapat bahwa masyarakat Asia kurang kreatif daripada Barat karena latar belakang budaya mereka. Sebuah masyarakat warisan Konfusianisme yang menekan perilaku kreatif, sementara orang Barat hidup dalam masyarakat individualistis liberal yang mendorong kreativitas.

Buku yang diterbitkan oleh Prentice Hall di bulan Desember tahun 2000 ini merupakan buku yang cukup kontroversial karena menjelaskan kesalahan pendidikan dan pola berpikir masyarakat Asia. Tetapi yang mengherankan, buku ini malah menjadi best seller pula pada tahun 2014.

Penulis buku tersebut, Ng Aik-Kwang, memiliki riwayat pendidikan sebagai Sarjana Seni, National University of Singapore. Dia juga merupakan Sarjana Ilmu Sosial, National University of Singapore, merupakan Doktor filsafat, University of Queensland, Australia, dan lulusan Diploma Pascasarjana Pengajaran di Perguruan Tinggi, Nanyang Technological University, Singapura.

Meskipun pembaca harus lebih cermat menyaring karena semangat liberalism yang terkandung di dalam buku yang berisi 248 halaman tersebut, tapi banyak pelajaran yang sangat berharga  yang dapat kita ambil dari buku yang ditulis oleh Ng Aik-Kwang ini.

Sebagaimana yang disampaikan Gigih Helma Wijaya yang telah membuat rangkuman singkatnya tentang sekilas pelajaran yang diperoleh dari buku tersebut, berikut ini kutipan dari buku yang berjudul Why Asians are Less Creative than Westerners .

Easteners dan Westeners, dua komunitas yang jauh berbeda pada segi lifestyle, pendidikan, dan pola berpikir. Professor yang bernama Ng Aik Kwang tersebut, memberikan gambaran perbedaan tersebut dilihat dari segi pendidikan dan pola berpikir di antara keduanya sekaligus memberikan solusinya.

Kesalahan pertama, bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, pengacara, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki banyak kekayaan.

Kedua, bagi masyarakat Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai cerita, novel, sinetron, atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang wajar.

Ketiga, bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk perguruan tinggi, dan lain-lain semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut. Oleh karena itu, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun). Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.

Keempat, orang Asia takut salah dan takut kalah. Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.

Kelima, bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.

Keenam, karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru atau narasumber untuk minta penjelasan tambahan.

Dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:

Kamis, Februari 05, 2015

Pesawat Tanpa Awak Berperan Kurir

Sejak Desember 2013, Perusahaan DHL, yang bergerak dalam jasa pengiriman, melakukan uji coba memakai drone atau pesawat tanpa awak. Drone juga termasuk UAV (Unmanned Aerial Vehicle). UAV sebagai kurir yang dikembangkan DHL ini diberi nama DHL Parcelcopter. Produk ini merupakan hasil pengembangan yang dilakukan DHL bersama lembaga penelitian Institute of Flight System Dynamics di Aachen University, dan diawasi oleh Kementerian Ekonomi, Tenaga Kerja dan Transportasi Jerman. Pesawat tanpa awak ini berperan kurir untuk mengirim obat-obatan dan alat medis.

Kini telah bermunculan semakin banyak perusahan yang menggunakan drone sebagai kurir. Misal, Pasar online milik Alibaba Group, Taobao, menjalankan tes di dunia nyata yang memungkinkan 450 orang di Beijing, Guangzhou dan Shanghai memesan teh jahe dan menerimanya dari pesawat tanpa awak (drone) dalam waktu kurang dari satu jam. Layanan hanya akan tersedia dari tanggal 4 Februari 2015 sampai 6 Februari, 2015 .. hayo siapa yang lagi melancong ke China? barangkali bisa coba-coba pesan di pasar online taobao dan menikmati fasilitas kurir drone ini :D.

Perusahaan jasa pengiriman internasional, Geopost, juga mencoba teknologi drone sebagai pengganti kurir pengiriman barang ke pelanggan. Dari hasil uji coba yang dilakukan sejak September 2014 tersebut, di mana proses pengirimannya baru berjalan ke Prancis dengan bermitra pada Atechsys, Geopost mengungkapkan bahwa drone tersebut bisa difungsikan untuk mengirim barang dengan bobot 4 kilogram dalam radius 20 kilometer, dengan dimensi 40x30x20 sentimeter. Tetapi menurut evaluasi mereka, penggunaan drone masih memiliki beberapa kendala teknis, seperti peraturan keselamatan dan privasi penggunaan. Meski, sebenarnya drone diklaim mampu bisa tingkatkan hasil pendapatan perusahaan dan proses pengiriman berjalan cepat.

Ini tidak berbeda dengan menggunakan pesawat RC (remote control) untuk melakukan hal yang sama. Tetapi dalam konteks jasa pengiriman, drone lebih aman dan lebih terprogram daripada RC helikopter yang jadul. Tapi mereka bisa pula menjadi mimpi buruk karena seringkali kegagalan yang terjadi adalah paket yang dibawa para drone tersebut terjatuh dari ketinggian dan mengenai apa pun yang ada di bawahnya (bisa jadi juga kepala orang) ... wah wah wah.

Di negara Paman Sam (alias Amerika Serikat), penggunaan drone membutuhkan jutaan jam catatan pengujian untuk bisa mendapatkan persetujuan FAA. FAA atau Federal Aviation Administration merupakan lembaga regulator penerbangan sipil di Amerika Serikat. Sebagai bagian dari Kementerian Transportasi Amerika Serikat, badan ini bertanggungjawab sebagai pengatur dan pengawas penerbangan sipil di A.S. (fungsinya mirip dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara di Indonesia).

Perusahaan penyedia jasa perdangan online Amazon, juga sedang melakukan uji coba menggunakan drone untuk kirim barang dalam jarak dekat. Sebuah kabar diberitakan melalui BBC,