Senin, Februari 09, 2015

Kesalahan Pendidikan dan Pola Berpikir Masyarakat Asia

Why Asians are Less Creative than Westerners
Sebuah buku yang berjudul, Why Asians are Less Creative than Westerners , yang ditulis oleh Ng Aik-Kwang, merupakan buku yang unik dan dapat dipercayai keakuratannya. Buku ini berpendapat bahwa masyarakat Asia kurang kreatif daripada Barat karena latar belakang budaya mereka. Sebuah masyarakat warisan Konfusianisme yang menekan perilaku kreatif, sementara orang Barat hidup dalam masyarakat individualistis liberal yang mendorong kreativitas.

Buku yang diterbitkan oleh Prentice Hall di bulan Desember tahun 2000 ini merupakan buku yang cukup kontroversial karena menjelaskan kesalahan pendidikan dan pola berpikir masyarakat Asia. Tetapi yang mengherankan, buku ini malah menjadi best seller pula pada tahun 2014.

Penulis buku tersebut, Ng Aik-Kwang, memiliki riwayat pendidikan sebagai Sarjana Seni, National University of Singapore. Dia juga merupakan Sarjana Ilmu Sosial, National University of Singapore, merupakan Doktor filsafat, University of Queensland, Australia, dan lulusan Diploma Pascasarjana Pengajaran di Perguruan Tinggi, Nanyang Technological University, Singapura.

Meskipun pembaca harus lebih cermat menyaring karena semangat liberalism yang terkandung di dalam buku yang berisi 248 halaman tersebut, tapi banyak pelajaran yang sangat berharga  yang dapat kita ambil dari buku yang ditulis oleh Ng Aik-Kwang ini.

Sebagaimana yang disampaikan Gigih Helma Wijaya yang telah membuat rangkuman singkatnya tentang sekilas pelajaran yang diperoleh dari buku tersebut, berikut ini kutipan dari buku yang berjudul Why Asians are Less Creative than Westerners .

Easteners dan Westeners, dua komunitas yang jauh berbeda pada segi lifestyle, pendidikan, dan pola berpikir. Professor yang bernama Ng Aik Kwang tersebut, memberikan gambaran perbedaan tersebut dilihat dari segi pendidikan dan pola berpikir di antara keduanya sekaligus memberikan solusinya.

Kesalahan pertama, bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, pengacara, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki banyak kekayaan.

Kedua, bagi masyarakat Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai cerita, novel, sinetron, atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang wajar.

Ketiga, bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk perguruan tinggi, dan lain-lain semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut. Oleh karena itu, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun). Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.

Keempat, orang Asia takut salah dan takut kalah. Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.

Kelima, bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.

Keenam, karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru atau narasumber untuk minta penjelasan tambahan.

Dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:
Solusi pertama, hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.

Solusi kedua, hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.

Solusi ketiga, jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator jika jawaban utk X dikali Y harus dihafalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya.

Solusi keempat, biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION atau rasa cintanya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang (atau yang lagi booming digandrungi masyarakat <-- tambahan omcan)

Solusi kelima, dasar kreativitas adalah rasa penasaran dan berani ambil resiko.

Solusi keenam, guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau kita tidak tahu.

Solusi ketujuh, passion manusia adalah anugerah Tuhan, sebagai orang tua kita bertanggungjawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya.

Mudah-mudahan dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri komentar atau masukan ya :)