Sabtu, Maret 14, 2015

Perbedaan Berfikir Ilmiah dengan Sederhana

Sebelum kita membahas apa perbedaan antara berfikir ilmiah dengan sederhana, pengertian-pengertiannya, dan bagaimana penerapannya. Akan lebih mudah kita pahami jika kita ikuti kisah berikut ini terlebih dulu.

Tersebutlah sebuah kisah.
(Mohon dibaca dengan baik)

---
Suatu hari seorang profesor mengajak anaknya, yang masih kelas 1 SD, menuju ke kantornya, mumpung sekolah full day-nya sedang libur. Padahal sebenarnya sejak pagi, si anak ingin diajak ke taman bermain. Tetapi karena profesor tersebut sedang banyak tugas yang belum selesai di kantor, sedangkan dia juga single parent, tanpa pembantu. Tidak ada sanak famili yang lain yang bisa menemani si anak. Akhirnya dengan terpaksa, si anak membatalkan keinginannya ke taman bermain.

Setiba mereka di kantor, mereka disapa seorang wanita cantik yang biasanya sehari-hari bertemu dengan profesor di kantor. Terjadilah percakapan singkat antara si wanita, profesor, dan si anak.
Si wanita: “Selamat pagi, Prof!”
Profesor: “Ya, selamat pagi.” (sambil tersenyum)
Si wanita: “Anaknya ya prof, adududu manis sekali, mirip ayahnya.”
Profesor: “Iya, ini anak saya.” (sambil tersenyum)
Si wanita: “Adeek pastinya bangga ya punya ayah yang bergelar profesor.”
Si anak: “Tidak, aku tidak mau mengakui dia sebagai ayah saya.” (jawab dia dengan kesal)
Si wanita: “Lho nggak baik lho ngomong begitu, ayahmu khan baik sama kamu.”
Si anak: “...” (hanya diam, tidak mau menjawab)

Si wanita bingung dan memandang profesor. Profesor hanya bisa tersenyum.
---

Jawablah pertanyaan ini terlebih dulu
  1. Bagaimana pendapat Anda tentang kisah tersebut?
  2. Menurut Anda, apa karakter dari masing-masing tokoh tersebut? (si wanita cantik, si profesor, dan si anak)
  3. Siapakah yang sebenarnya bersalah dalam kisah tersebut?
  4. Solusi apa yang seharusnya dilakukan oleh profesor dan si wanita?

Ikutilah lanjutan cerita di bawah ini dan saya yakin Anda akan merubah kesimpulan Anda.
Setelah banyak dinasehati oleh si wanita cantik.

Si anak pun bertanya kepada profesor.

“Mama, ini pasien mama ya. Saya harus bagaimana menjelaskan ke pasien mama, kalau mama itu perempuan?”

Mamanya si anak (profesor) adalah peneliti di rumah sakit jiwa.
Dan si wanita cantik adalah salah satu pasien yang diteliti oleh profesor.


Pelajaran yang bisa kita ambil:

1) Hati-hatilah dengan “stereotype” yang ada dalam pikiran kita.

Apa itu stereotype?

Mengutip dari wikipedia, Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif.

Contoh dalam kisah tersebut, stereotype yang muncul:
Profesor --> sterotype: cerdas, berjenis kelamin laki-laki. (pikiran kita berarti masih ada bekas-bekas sikap diskriminatif, bahwa profesor haruslah laki-laki, bukan perempuan).
Wanita cantik --> stereotype: cerdas, ramah, tidak sakit jiwa.
Anak kecil --> stereotype: manja, belum cukup bijak.

Contoh dalam keseharian, stereotype yang muncul pada masyarakat umum:
Ganteng atau cantik dan berkacamata --> stereotype: pintar, pintar bergaul.
Tidak rupawan, dan berkacamata tebal --> stereotype: kutu buku, gak gaul.
Orang madura --> stereotype: bermental baja, tahan banting, ulet dan kreatif dalam berdagang, berwatak keras.

Prasangka atau stereotype bisa membuat kita jauh dari kebenaran dan menyebabkan kita membuat keputusan yang tidak tepat, atau tidak bijak.
Contoh:
Tidak mau mendengarkan kata-kata anak kecil, karena dianggap tidak bisa bijak, sehingga hanya pendapat orang dewasa saja yang didengar. Padahal bisa jadi anak kecil lebih jujur daripada orang dewasa.

Mempercayai seseorang karena status sarjana yang disandang, padahal bisa jadi orang tersebut kurang amanah dan kurang cakap di bidang kesarjanaannya.

Mengutip firman Allah yang ada dalam surat Yunus (10) ayat 36:

"Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan."

2)    Pentingnya berfikir secara kritis dan ilmiah agar mendapatkan pengetahuan yang benar.

Berfikir itu ada tiga macam:

a) Berfikir tahayul, contoh: dari kisah tentang profesor dan si anak tadi, orang yang berfikir tahayul bisa jadi menyimpulkan si anak mungkin sedang kesurupan, sehingga jawabannya nglantur.

b) Berfikir sederhana: kurang pengetahuan, tidak meneliti variabel yang lain, sedikit data bahkan hanya berupa data “katanya si ini dan si itu”, sudah terburu-buru dan berani menyimpulkan.
Contoh:
Karyawan A dipecat oleh Bosnya, kemudian si A sambil marah-marah ke parkiran dan keluar membawa sepeda motornya yang ada tepat di sebelah mobil Bosnya. Saat berpapasan dengan satpam, si satpam curiga, kemudian satpam mendekati mobil si Bos dengan kondisi ban bocor. Si satpam menuduh si A yang membocorkan ban mobil Bosnya, dan melaporkan kejadian itu.

Si satpam telah berfikir sederhana. Coba apa dampaknya bagi si A jika satpam mengatakan kepada si Bos bahwa yang merusak ban mobil bosnya adalah si A? Padahal bisa jadi pas perjalanan ke kantor, tanpa sengaja, si Bos melewati jalanan yang ada beberapa paku berceceran.

c) Berfikir ilmiah, tidak terburu-buru dalam menyimpulkan.
Mengutip dari www.academia.edu
Langkah-langkah berfikir ilmiah:
1)    Merumuskan masalah
2)    Merumuskan hipotesis
3)    Mengumpulkan data dari semua variabel yang terkait
4)    Menguji hipotesis
5)    Merumuskan kesimpulan.

Mengutip dari firman Allah dalam surat Al ‘Isra (17) ayat 36,

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri komentar atau masukan ya :)