Cara Guru Membangun Karakter Jujur Siswa melalui Pendekatan Behaviorisme
Banyak orangtua khawatir anaknya tidak naik kelas, nilai akademik anak kurang, atau tidak lulus sekolah, tapi orangtua jarang memikirkan bahwa orangtua memiliki peran dalam membangun kejujuran anak. Di tengah banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari, beberapa siswa yang mendapat tekanan dari orangtua agar nilai akademiknya baik akhirnya bertujuan pada nilai akhir saja, bukan proses, sehingga terkadang mereka memilih berbuat curang, tidak jujur, misal dengan cara mencontek sembunyi-sembunyi, atau mengikuti budaya contekan massal tanpa perlu sembunyi-sembunyi. Sekolah merupakan lingkungan kedua siswa yang memiliki peran untuk membangun karakter jujur kepada siswa. Dalam hal ini, guru merupakan unsur terpenting sekolah dalam membangun karakter jujur pada siswa, dan memang guru memiliki peran penting dalam membangun budaya kejujuran akademik di sekolah. Berkaitan dengan cara membangun karakter jujur pada siswa, guru dapat menggunakan pendekatan Behaviorisme.
Pendekatan Behaviorisme
Behaviorisme atau Aliran Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa
semua yang dilakukan organisme —termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan— dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Tokoh-tokoh terkenal tentang masalah ini diantaranya adalah Ivan Pavlov, Edward Lee Thorndike, B.F. Skinner , dan John B. Watson.
Behaviorisme hanya menganalisa perilaku yang tampak/nyata saja yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Behaviorisme memandang bahwa ketika manusia lahir, pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apapun. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus atau rangsangan dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan buruk akan menghasilkan manusia yang buruk, lingkungan baik akan menghasilkan manusia yang baik. Kaum behavioris memusatkan dirinya pada pendekatan ilmiah yang objektif. Kaum behavioris tidak sepakat dengan peristilahan yang bersifat subjektif, seperti hasrat, sensasi, atau persepsi.
Melalui behaviorisme, kelakuan manusia dapat dijelaskan secara seksama sehingga dapat membantu program pendidikan dengan hasil memuaskan. Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa behaviorisme memiliki pengaruh besar terhadap masalah belajar. Belajar ditafsirkan sebagai latihan-latihan pembentukan hubungan antara stimulus dan respons.
Dengan memberikan rangsangan/stimulus maka siswa akan merespons. Hubungan antara stimulus-respons ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan belajar yang muncul secara otomatis. Jadi, pada dasarnya kelakuan anak merupakan respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus tertentu. Jika latihan-latihan tertentu sering diterapkan pada seorang anak, maka hubungan-hubungan stimulus-respon itu akan menjadi semakin kuat. Teori ini disebut S-R Bond Theory. Tetapi tak ada gading yang tak retak, satu-satunya kritik pada teori ini adalah bahwa teori ini hanya menekankan pada refleks dan otomatisasi, serta melupakan kelakuan yang bertujuan.
Pengertian Karakter Jujur
Kata “character” dalam Bahasa Inggris berarti “sifat” dalam Bahasa Indonesia. Kata “sifat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki banyak padanan kata, antara lain: perangai, watak, tabiat, dan akhlak. Secara singkat, karakter dapat diartikan sebagai sifat batin manusia yg mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.
Sedangkan pengertian “jujur” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti lurus hati, tidak curang. Maka dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki karakter jujur adalah siswa yang batinnya cenderung lurus atau tidak curang sehingga mempengaruhi pikirannya (akalnya) untuk selalu mencari cara berbuat jujur yang kemudian diwujudkan dalam sikap dan tingkah lakunya baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Kecenderungan siswa yang memiliki karakter jujur akan berusaha untuk berbuat jujur, bahkan bisa jadi mencegah orang lain berbuat tidak jujur, atau cenderung mengkritik atau membenci teman atau lingkungannya yang tidak jujur.
Potensi Guru dalam Membangun Karakter Jujur Siswa
Guru memiliki potensi yang luar biasa untuk membentuk karakter anak didik atau siswanya. Bagaimana tidak, karena waktu yang dimiliki guru berinteraksi dengan siswa cukup banyak. Dalam 24 jam, seorang anak akan tidur kurang lebih 8-10 jam, yang berarti 14-16 jam waktu aktivitas anak selain tidur dalam sehari, atau 98-112 jam dalam seminggu. Sedangkan, waktu guru dapat berinteraksi dengan siswa kurang lebih 36 – 46 jam dalam seminggu. Ini berarti kurang lebih 40% waktu aktivitas siswa (selain tidur) selama seminggu digunakan untuk berinteraksi dengan gurunya. Pantas saja jika tidak sedikit siswa memposisikan gurunya layaknya orangtua yang kedua.
Seringkali juga kita jumpai bahwa siswa lebih mempercayai ilmu yang dimiliki oleh guru daripada orangtuanya sendiri. Terlebih lagi jika siswa tersebut sangat mengagumi guru yang mengajar di kelasnya, sehingga siswa tersebut lebih menurut jika dinasehati oleh guru tersebut daripada orangtuanya sendiri. Figur guru yang menjadi teladan bagi siswa, figur guru yang disenangi oleh siswa nya adalah figur guru yang sangat berpotensi untuk mempermudah dalam membangun karakter siswa, terutama karakter jujur.
Tugas penilaian yang dilakukan guru kepada siswa juga merupakan sebuah potensi yang besar yang dapat digunakan untuk membantu dalam membangun karakter jujur siswa. Apalagi dalam kurikulum nasional sekarang ini yang memasukkan karakter sebagai bagian dari penilaian siswa.
Cara Guru dalam Membangun Karakter Jujur Siswa Menggunakan Pendekatan Behaviorisme
Ada orang bijak pernah mengatakan, “anak akan melupakan semua nasehat baik dari orangtuanya, tetapi anak tidak akan pernah lupa dengan perbuatan baik orangtuanya”. Artinya, bahwa perbuatan itu lebih berpengaruh ketimbang perkataan. Oleh karena itu, seorang guru harus bisa menjadi teladan bagi siswanya. Jika seorang guru ingin membangun karakter jujur pada anak didiknya, maka karakter jujur itu harus terbiasa muncul dulu pada guru tersebut. Guru harus bisa memberikan contoh kepada muridnya, misal ketika mengajar di kelas, guru harus jujur pada dirinya sendiri dan juga kepada anak-anak ketika tidak bisa menjawab pertanyaan anak-anak karena guru tersebut belum pernah mempelajari hal yang ditanyakan tersebut. Guru harus berani jujur mengatakan bahwa pernah melakukan kekhilafan dalam mengajarkan suatu konsep, lalu kemudian segera memperbaikinya. Perlu diketahui, jika seorang guru berani jujur mengakui kesalahannya di depan anak-anak didiknya, maka bukan berarti anak-anak didiknya tersebut akan mengurangi rasa hormatnya kepada guru itu, melainkan malah akan bertambah mengagumi kejujuran guru tersebut. Kebiasaan memberikan stimulus kepada anak-anak berupa contoh-contoh sikap yang jujur, akan direspon oleh anak dengan cara meniru kejujuran tersebut.
Keterampilan dan perhatian guru dalam menyelidiki siswa yang tidak jujur juga merupakan syarat bagi seorang guru dalam menanamkan kejujuran pada siswa. Bayangkan saja jika seorang guru mudah ditipu oleh siswanya, tentu saja siswa tidak akan segan-segan mengulangi kembali ketidakjujurannya tersebut. Ini biasanya terjadi kepada guru yang kurang peduli atau kurang memberikan perhatian kepada anak didiknya. Jangankan urusan mengetahui siswanya jujur atau tidak, urusan keseharian si anak saja guru tersebut tidak mau tahu, dan bahkan nama dari siswanya tersebut sering lupa.
Guru harus kritis terhadap permasalahan siswa. Penting sekali guru untuk terampil dalam menyelidiki siswa yang sedang bermasalah, tentang apakah dia jujur atau tidak kepada gurunya dalam menyampaikan masalahnya tersebut. Konsistensi reward dan punishment yang diberikan juga sangat dibutuhkan untuk memperkuat agar anak selalu berbuat jujur. Kebiasaan memberikan stimulus berupa sikap kritis guru terhadap permasalahan siswa, reward dan punishment yang diberikan guru, tentunya akan memunculkan respon siswa untuk tidak berusaha bohong terhadap permasalahannya, karena siswa tersebut sering mengalami pengalaman bahwa kejujuran pastilah yang menang dan untung, sedangkan kebohongan pastilah akan kalah dan merugi.
Proses penilaian di setiap mata pelajaran pun bisa menjadi alat untuk menanamkan karakter jujur pada siswa. Syaratnya adalah guru harus membuat dan menjalankan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) setiap mata pelajaran yang memasukkan nilai karakter jujur pada kegiatan pembelajarannya di setiap kompetensi dasar yang dibebankan kepada siswa. Sehingga, siswa diharapkan tidak hanya melulu fokus pada nilai akademiknya saja tetapi juga nilai karakternya. Hal ini tentu saja akan semakin baik lagi hasilnya, jika didukung sekolah yang bersangkutan dengan cara membuatkan Rapot Karakter selain Rapot Akademik yang biasanya, dan jika memang memungkinkan lagi, menjadikan nilai pada Rapot Karakter tersebut sebagai salah satu syarat kenaikan kelas. Kebiasaan guru menilai kejujuran siswa dalam proses belajar mengajar akan menjadi stimulus yang baik untuk menumb uhkan respon berupa kejujuran siswa.
Sebagai kesimpulan, bahwa usaha guru dalam menanamkan karakter jujur pada siswa dengan menggunakan pendekatan behaviorisme, dapat dimulai dengan memberikan stimulus berupa keteladan berupa kejujuran guru terlebih dulu. Kemudian berusaha menjadi guru yang difavoritkan anak-anak agar segala nasehat kita didengar dan diperhatikan oleh anak-anak. Seorang guru juga harus terampil dalam bersikap kritis terhadap permasalahan siswa. Konsistensi reward dan punishment pun harus ditegakkan agar siswa akan terbiasa bersikap jujur. Dan terakhir, guru harus membiasakan mengambil nilai karakter jujur siswa dalam kegiatan pembelajarannya di setiap mata pelajaran yang diterima anak-anak. Dengan begitu, stimulus-stimulus berupa pembiasaan untuk bersikap jujur akan menghasilkan respon-respon kejujuran dari anak-anak didik yang kemudian menjadi karakter mereka. Amiin.
Penulis: Candra Prasetyo
Banyak orangtua khawatir anaknya tidak naik kelas, nilai akademik anak kurang, atau tidak lulus sekolah, tapi orangtua jarang memikirkan bahwa orangtua memiliki peran dalam membangun kejujuran anak. Di tengah banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari, beberapa siswa yang mendapat tekanan dari orangtua agar nilai akademiknya baik akhirnya bertujuan pada nilai akhir saja, bukan proses, sehingga terkadang mereka memilih berbuat curang, tidak jujur, misal dengan cara mencontek sembunyi-sembunyi, atau mengikuti budaya contekan massal tanpa perlu sembunyi-sembunyi. Sekolah merupakan lingkungan kedua siswa yang memiliki peran untuk membangun karakter jujur kepada siswa. Dalam hal ini, guru merupakan unsur terpenting sekolah dalam membangun karakter jujur pada siswa, dan memang guru memiliki peran penting dalam membangun budaya kejujuran akademik di sekolah. Berkaitan dengan cara membangun karakter jujur pada siswa, guru dapat menggunakan pendekatan Behaviorisme.
Pendekatan Behaviorisme
Behaviorisme atau Aliran Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa
semua yang dilakukan organisme —termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan— dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Tokoh-tokoh terkenal tentang masalah ini diantaranya adalah Ivan Pavlov, Edward Lee Thorndike, B.F. Skinner , dan John B. Watson.
Behaviorisme hanya menganalisa perilaku yang tampak/nyata saja yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Behaviorisme memandang bahwa ketika manusia lahir, pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apapun. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus atau rangsangan dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan buruk akan menghasilkan manusia yang buruk, lingkungan baik akan menghasilkan manusia yang baik. Kaum behavioris memusatkan dirinya pada pendekatan ilmiah yang objektif. Kaum behavioris tidak sepakat dengan peristilahan yang bersifat subjektif, seperti hasrat, sensasi, atau persepsi.
Melalui behaviorisme, kelakuan manusia dapat dijelaskan secara seksama sehingga dapat membantu program pendidikan dengan hasil memuaskan. Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa behaviorisme memiliki pengaruh besar terhadap masalah belajar. Belajar ditafsirkan sebagai latihan-latihan pembentukan hubungan antara stimulus dan respons.
Dengan memberikan rangsangan/stimulus maka siswa akan merespons. Hubungan antara stimulus-respons ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan belajar yang muncul secara otomatis. Jadi, pada dasarnya kelakuan anak merupakan respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus tertentu. Jika latihan-latihan tertentu sering diterapkan pada seorang anak, maka hubungan-hubungan stimulus-respon itu akan menjadi semakin kuat. Teori ini disebut S-R Bond Theory. Tetapi tak ada gading yang tak retak, satu-satunya kritik pada teori ini adalah bahwa teori ini hanya menekankan pada refleks dan otomatisasi, serta melupakan kelakuan yang bertujuan.
Pengertian Karakter Jujur
Kata “character” dalam Bahasa Inggris berarti “sifat” dalam Bahasa Indonesia. Kata “sifat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki banyak padanan kata, antara lain: perangai, watak, tabiat, dan akhlak. Secara singkat, karakter dapat diartikan sebagai sifat batin manusia yg mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.
Sedangkan pengertian “jujur” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti lurus hati, tidak curang. Maka dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki karakter jujur adalah siswa yang batinnya cenderung lurus atau tidak curang sehingga mempengaruhi pikirannya (akalnya) untuk selalu mencari cara berbuat jujur yang kemudian diwujudkan dalam sikap dan tingkah lakunya baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Kecenderungan siswa yang memiliki karakter jujur akan berusaha untuk berbuat jujur, bahkan bisa jadi mencegah orang lain berbuat tidak jujur, atau cenderung mengkritik atau membenci teman atau lingkungannya yang tidak jujur.
Potensi Guru dalam Membangun Karakter Jujur Siswa
Guru memiliki potensi yang luar biasa untuk membentuk karakter anak didik atau siswanya. Bagaimana tidak, karena waktu yang dimiliki guru berinteraksi dengan siswa cukup banyak. Dalam 24 jam, seorang anak akan tidur kurang lebih 8-10 jam, yang berarti 14-16 jam waktu aktivitas anak selain tidur dalam sehari, atau 98-112 jam dalam seminggu. Sedangkan, waktu guru dapat berinteraksi dengan siswa kurang lebih 36 – 46 jam dalam seminggu. Ini berarti kurang lebih 40% waktu aktivitas siswa (selain tidur) selama seminggu digunakan untuk berinteraksi dengan gurunya. Pantas saja jika tidak sedikit siswa memposisikan gurunya layaknya orangtua yang kedua.
Seringkali juga kita jumpai bahwa siswa lebih mempercayai ilmu yang dimiliki oleh guru daripada orangtuanya sendiri. Terlebih lagi jika siswa tersebut sangat mengagumi guru yang mengajar di kelasnya, sehingga siswa tersebut lebih menurut jika dinasehati oleh guru tersebut daripada orangtuanya sendiri. Figur guru yang menjadi teladan bagi siswa, figur guru yang disenangi oleh siswa nya adalah figur guru yang sangat berpotensi untuk mempermudah dalam membangun karakter siswa, terutama karakter jujur.
Tugas penilaian yang dilakukan guru kepada siswa juga merupakan sebuah potensi yang besar yang dapat digunakan untuk membantu dalam membangun karakter jujur siswa. Apalagi dalam kurikulum nasional sekarang ini yang memasukkan karakter sebagai bagian dari penilaian siswa.
Cara Guru dalam Membangun Karakter Jujur Siswa Menggunakan Pendekatan Behaviorisme
Ada orang bijak pernah mengatakan, “anak akan melupakan semua nasehat baik dari orangtuanya, tetapi anak tidak akan pernah lupa dengan perbuatan baik orangtuanya”. Artinya, bahwa perbuatan itu lebih berpengaruh ketimbang perkataan. Oleh karena itu, seorang guru harus bisa menjadi teladan bagi siswanya. Jika seorang guru ingin membangun karakter jujur pada anak didiknya, maka karakter jujur itu harus terbiasa muncul dulu pada guru tersebut. Guru harus bisa memberikan contoh kepada muridnya, misal ketika mengajar di kelas, guru harus jujur pada dirinya sendiri dan juga kepada anak-anak ketika tidak bisa menjawab pertanyaan anak-anak karena guru tersebut belum pernah mempelajari hal yang ditanyakan tersebut. Guru harus berani jujur mengatakan bahwa pernah melakukan kekhilafan dalam mengajarkan suatu konsep, lalu kemudian segera memperbaikinya. Perlu diketahui, jika seorang guru berani jujur mengakui kesalahannya di depan anak-anak didiknya, maka bukan berarti anak-anak didiknya tersebut akan mengurangi rasa hormatnya kepada guru itu, melainkan malah akan bertambah mengagumi kejujuran guru tersebut. Kebiasaan memberikan stimulus kepada anak-anak berupa contoh-contoh sikap yang jujur, akan direspon oleh anak dengan cara meniru kejujuran tersebut.
Keterampilan dan perhatian guru dalam menyelidiki siswa yang tidak jujur juga merupakan syarat bagi seorang guru dalam menanamkan kejujuran pada siswa. Bayangkan saja jika seorang guru mudah ditipu oleh siswanya, tentu saja siswa tidak akan segan-segan mengulangi kembali ketidakjujurannya tersebut. Ini biasanya terjadi kepada guru yang kurang peduli atau kurang memberikan perhatian kepada anak didiknya. Jangankan urusan mengetahui siswanya jujur atau tidak, urusan keseharian si anak saja guru tersebut tidak mau tahu, dan bahkan nama dari siswanya tersebut sering lupa.
Guru harus kritis terhadap permasalahan siswa. Penting sekali guru untuk terampil dalam menyelidiki siswa yang sedang bermasalah, tentang apakah dia jujur atau tidak kepada gurunya dalam menyampaikan masalahnya tersebut. Konsistensi reward dan punishment yang diberikan juga sangat dibutuhkan untuk memperkuat agar anak selalu berbuat jujur. Kebiasaan memberikan stimulus berupa sikap kritis guru terhadap permasalahan siswa, reward dan punishment yang diberikan guru, tentunya akan memunculkan respon siswa untuk tidak berusaha bohong terhadap permasalahannya, karena siswa tersebut sering mengalami pengalaman bahwa kejujuran pastilah yang menang dan untung, sedangkan kebohongan pastilah akan kalah dan merugi.
Proses penilaian di setiap mata pelajaran pun bisa menjadi alat untuk menanamkan karakter jujur pada siswa. Syaratnya adalah guru harus membuat dan menjalankan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) setiap mata pelajaran yang memasukkan nilai karakter jujur pada kegiatan pembelajarannya di setiap kompetensi dasar yang dibebankan kepada siswa. Sehingga, siswa diharapkan tidak hanya melulu fokus pada nilai akademiknya saja tetapi juga nilai karakternya. Hal ini tentu saja akan semakin baik lagi hasilnya, jika didukung sekolah yang bersangkutan dengan cara membuatkan Rapot Karakter selain Rapot Akademik yang biasanya, dan jika memang memungkinkan lagi, menjadikan nilai pada Rapot Karakter tersebut sebagai salah satu syarat kenaikan kelas. Kebiasaan guru menilai kejujuran siswa dalam proses belajar mengajar akan menjadi stimulus yang baik untuk menumb uhkan respon berupa kejujuran siswa.
Sebagai kesimpulan, bahwa usaha guru dalam menanamkan karakter jujur pada siswa dengan menggunakan pendekatan behaviorisme, dapat dimulai dengan memberikan stimulus berupa keteladan berupa kejujuran guru terlebih dulu. Kemudian berusaha menjadi guru yang difavoritkan anak-anak agar segala nasehat kita didengar dan diperhatikan oleh anak-anak. Seorang guru juga harus terampil dalam bersikap kritis terhadap permasalahan siswa. Konsistensi reward dan punishment pun harus ditegakkan agar siswa akan terbiasa bersikap jujur. Dan terakhir, guru harus membiasakan mengambil nilai karakter jujur siswa dalam kegiatan pembelajarannya di setiap mata pelajaran yang diterima anak-anak. Dengan begitu, stimulus-stimulus berupa pembiasaan untuk bersikap jujur akan menghasilkan respon-respon kejujuran dari anak-anak didik yang kemudian menjadi karakter mereka. Amiin.
Penulis: Candra Prasetyo
Bagus pak
BalasHapustrims komentarnya. :) semoga bermanfaat. mungkin ada saran lain?
BalasHapusguru memang memiliki peran dalam membangun budaya kejujuran akademik di sekolah. mohon sudi memberi komentar, barangkali bisa saya ajak sharing lewat blog ini, thx.
BalasHapus