Kamis, November 12, 2015

Mengapa Usia Remaja Tak Boleh Ngeeeng

Pagi hari ini tadi, ketika saya dalam perjalanan ke kantor, tiba-tiba "Ngeeeng ... ciiiiiiiit" ada suara ban berdecit dengan sangat keras menggesek aspal. Ternyata seorang anak SMP sedang mengendarai sepeda motor matic tengah berusaha keras untuk mengerem ban sepeda motornya menghindari pejalan kaki yang sedang menyeberang. Mungkin karena saking kencangnya dan kurang waspada, saya perhatikan dari kecepatannya dan lama suara decitan bannya, kurang lebih 12 meter dia sudah berusaha mengerem dan nyaris saja terjadi kecelakaan.

Saya yakin banyak dari pengendara juga mengeluhkan pengendara lain yang masih remaja berkendara di jalan raya. Tetapi remaja yang sudah berusia 17 tahun masih lebih baik dalam berkendara dibandingkan usia remaja yang di bawahnya. Usia 17 tahun sudah lebih bisa berhati-hati saat "Ngeeeng" ... mengendarai motor di jalan raya.

Sebenarnya sudah cukup jelas bahwa usia seseorang sangat mempengaruhi cara berkendaranya. Berdasarkan Pasal 81 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 22 Tahun 2009, persyaratan pemohon SIM perseorangan memiliki batasan usia minimal, antara lain disebutkan bahwa
1. usia 17 tahun untuk SIM A, C, dan D
2. usia 20 tahun untuk SIM B1
3. usia 21 tahun untuk SIM B2
Jadi jika ada anak di bawah usia 17 tahun yang diijinkan untuk mengendarai kendaraan bermotor, maka itu merupakan tindakan yang melanggar hukum.

Mengapa dibatasi usia minimal? Hal ini jelas karena salah satu faktor keamanan dalam berkendara sangat dipengaruhi oleh kematangan usia. Kepala Seksi Pelatihan Sub-direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Lalu Lintas (Kasilat Subdit Ditlantas) Polri, AKBP Subono menjelaskan, bahwa pada usia ini, anak dianggap mulai matang secara psikologis dan kognitif, sehingga bisa bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang dia ambil yang tidak hanya menyangkut keselamatan dirinya, tapi juga pengguna jalan lain.

Begitu pula menurut psikolog anak dari RS Pantai Indah Kapuk, Ine Indriani M.Psi, menjelaskan, “Secara psikologis, remaja berusia di bawah 17 tahun masih belum memiliki kestabilan emosi. Anak-anak usia segitu mudah sekali terbawa euforia karena ingin nampang”. Sehingga usia di bawah 17 tahun lebih baik tak boleh mengendarai kendaraan bermotor dulu.

Psikolog Efnie Indrianie juga ikut menjelaskan bahwa otak kanan manusia baru bisa berfungsi baik pada umur 17 tahun di mana berfungsi sebagai pusat kontrol diri, yakni kepekaan dan kepedulian anak akan sesuatu hal semakin besar, termasuk semakin baik dalam

Kamis, Oktober 22, 2015

Cara Belajar Tanpa Rasa Takut

Saya tertarik mempelajari hal ini, saat tiga kali saya mengetahui secara langsung anak saya mendapat perlakuan bullying dari temannya dan kemudian dia melawan, menolak, atau pun hanya menangis. Meskipun anak saya masih balita, begitu pula temannya, tetapi sepanjang pengetahuan saya, baik atau buruk kepribadian anak dapat dipengaruhi dari hasil didikan orang tuanya semenjak kecil, baik sengaja maupun tidak sengaja. Saya lantas berkeinginan untuk mempelajari penerapan anti bullying di sekitar anak pada umumnya, meliputi pengertian bullying dan macam-macamnya, penyebab munculnya pelaku bullying, penyebab anak di-bully, akibat dari tindakan bullying, dan cara mencegah serta mengatasinya.

A. Pengertian bullying
Bullying adalah menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara mental serta dilakukan secara berulang. Perilaku bullying bisa berupa tindakan fisik, verbal (lisan), dan mental. Umumnya korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental.

B. Penyebab anak melakukan bullying

  1. Faktor keluarga, pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying saat mengamati permusuhan yang terjadi pada orang tua atau keluarga mereka, dan kemudian meniru tindakan tersebut kepada teman-temannya yang lemah. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku menindas dengan tujuan untuk meningkatkan status dan kekuasaannya”. Kemudian dari sinilah tindakan bullying tersebut berkembang.
  2. Faktor sekolah, pihak sekolah yang sering mengabaikan keberadaan bullying, tidak memberikan tindakan tegas terhadap pelaku bullying, dapat menyebabkan para pelaku bullying mendapatkan penguatan terhadap perilaku bullying mereka terhadap anak lain.
  3. Faktor kelompok sebaya, beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.


C. Penyebab anak menjadi korban bullying
Anak yang menjadi korban bullying adalah mereka yang memiliki harga diri (self esteem) yang rendah. Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa harga diri (self esteem) adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Sehingga dapat diartikan, harga diri menggambarkan sejauh mana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten.

Namun menurut Vera Itabilianana, seorang Psikolog Anak dan Remaja, anak yang memiliki self esteem tidak baik, dapat cenderung juga untuk melakukan hal buruk, seperti bullying kepada anak yang lebih lemah dari dirinya. Istilah saya mungkin balas dendam yang gak kesampaian, atau pelampiasan. Ini semua karena mereka tidak mengetahui kompetensi yang dimilikinya.

D. Akibat bullying pada korban bullying
Bullying berdampak secara fisik, psikis, dan sosial terhadap korban, semisal prestasi belajar yang menurun, kehilangan selera makan, sakit migrain, menarik diri dari pergaulan, rentan cemas dan depresi hingga bunuh diri, dan terganggu prestasi akademisnya dengan sering sengaja tidak masuk sekolah karena takut di-bully.

Dan, ingatlah lagi, bahwa bullying juga bisa menjadi penyakit yang dapat menyebar. Anak yang menjadi korban bully akan mem-bully anak lain.

E. Cara mencegah dan mengatasi praktek bullying terjadi pada anak
Pertama, peran orang tua.

Selasa, September 29, 2015

DIY How to Make Yeast Easily

(Do It Yourself: Bikin Sendiri) Cara Membuat Ragi Tape dengan Mudah

Setelah mengamati search engine milik mbah Google, ternyata banyak juga masyarakat di dunia Barat yang tertarik untuk membuat ragi tape atau yeast sendiri. Kalau di Indonesia di tahun 2015 ini, sepertinya juga lagi booming kebiasaan masyarakat Indonesia memelihara semut jepang untuk kesehatan. Jadi insyaAllah, banyak orang yang membutuhkan info ini.

Percobaan saya ini berangkat dari kelangkaan ragi tape yang sempat terjadi di daerah saya. Dan alhamdulillah berhasil buat ragi tape sendiri dan disukai sama semut-semut jepang.

Sempat saya coba juga ragi buatan saya untuk membuat tape nasi, ... hasilnya lumayan enak. ^_^

Membuat Ragi Sendiri dengan Cara Sederhana dan Murah.

Bahan-bahan:
  1. 250gr tepung beras.
  2. 6 sendok makan gula.
  3. ±80mL air bersih.
  4. 1 siung bawang putih.
  5. 1 ruas lengkuas.
  6. 1 keping ragi tape yang sudah dihaluskan.

Langkah-langkah:
Gerus bawang putih dan lengkuas hingga halus, lalu campurkan dengan air dan gula. Tuangkan campuran tersebut ke tepung beras hingga menjadi adonan yang kental seperti pasta sehingga mudah dibentuk, tidak terlalu basah. Ratakan adonan di atas wadah atau nampan. Taburi dengan serbuk ragi secara merata. Biarkan selama 24-48 jam di tempat yang kering dan aman. Jangan ditutup rapat.

Setelah 24-48 jam, cetak adonan menjadi kecil-kecil sesuai selera. Lalu jemur di bawah sinar matahari selama 3-5 hari sampai kering. Saran: berdasarkan pengalaman saya, banyak semut merah yang akan berdatangan saat adonan dijemur, sehingga sekitar adonan perlu diberi kapur semut.

Jika sudah kering, maka simpan di toples atau plastik. Tutup rapat. Letakkan di kulkas.